Rabu, 21 September 2011

Sejarah Masjid Raya Medan

Mesjid Al -Mashun Medan yang terletak di jantung kota tepatnya di Jalan Sisingamangaraja, meski usianya hampir 100 tahun atau seabad (1906 - 2000), namun bangunan dan berbagai ornamennya masih tetap utuh dan kokoh. Peninggalan kerajaan Islam Melayu Deli hingga kini masih menjadi kebanggaan umat Islam Medan dan Sumut, bahkan menjadi salah satu keunikan sejarah Islam masyarakat Melayu di Sumatera maupun di Malaysia.

Karenanya, rumah Allah ini tidak pernah sepi dari kunjungan umat baik untuk beribadah atau sekedar ber itikaf siang atau malam, apalagi kalau saat-saat bulan Ramadhan seperti ini pintu bangunan tua ini nyaris tidak ditutup selama 24 jam.

Masjid yang menjadi identitas Kota Medan ini, memang bukan sekedar bangunan antik bersejarah biasa, tetapi juga menyimpan keunikan tersendiri mulai dari gaya arsitektur, bentuk bangunan, kubah, menara, pilar utama hingga ornamen-ornamen kaligrafi yang menghiasi tiap bagian bangunan tua ini. Masjid ini dirancang dengan perpaduan gaya arsitektur Timur Tengah, India dan Eropa abad 18.

Merupakan salah satu peninggalan Sultan Ma’moen Al Rasyid Perkasa Alam - penguasa ke 9 Kerajaan Melayu Deli yang berkuasa 1873 - 1924 . Masjid Raya Al- Mashun sendiri dibangun tahun 1906 diatas lahan seluas 18.000 meter persegi, dapat menampung sekitar 1.500 jamaah dan digunakan pertama kali pada hari Jum’at 25 Sya’ban 1329 H ( 10 September 1909).

Peninggalan Sulthan Ma’moen lainnya yang hingga kini masih utuh bahkan menjadi andalan objek wisata sejarah Medan adalah Istana Maimoon yang selesai dibangun 26 Agustus 1888 dan mulai dipakai 18 Mei 1891, dan berbagai bangunan tua lainnya seperti residen pejabat kesulthanan, masjid dan ruang pertemuan yang tersebar di berbagai pelosok bekas wilayah kesulthanan Melayu Deli- kini wilayah Kodya Medan, Kodya Binjai, Kab. Langkat dan Kab Deli Serdang.

Masjid Raya Al-Mashun Medan, banyak dikagumi karena bentuknya yang unik tidak seperti bangunan masjid biasa yang umumnya berbentuk segi empat. Masjid ini, dirancang berbentuk bundar segi delapan dengan 4 serambi utama - di depan, belakang, dan samping kiri kanan, yang sekaligus menjadi pintu utama masuk ke masjid.

Antara serambi yang satu dengan lainnya dihubungkan oleh selasar kecil, sehingga melindungi bangunan/ruang utama dari luar. Di bagian dalam masjid ini, ditopang oleh 8 buah pilar utama berdiameter 0,60 m yang menjulang tinggi dan langsung menjadi penyangga kubah utama pada bagian tengah. Sedangkan 4 kubah lainnya berada di atas ke empat serambi selain ditambah dengan 2 buah menara di kiri-kanan belakang masjid

Kecuali itu, mimbar, keempat pintu utama dan 8 buah jendela serambi terbuat dari ukiran kayu jenis merbau bergaya seni tinggi - terbukti hingga kini masih tetap utuh. Belum lagi dengan ukiran dan hiasan ornamen khas Melayu Deli pada setiap sudut bangunan, yang serta merta melahirkan nilai-nilai sakral religius yang teramat dalam bagi tiap orang yang memasukinya.

Pada bulan Ramadhan seperti saat ini, suasana di Masjid Raya ini menjadi jauh lebih semarak dibanding hari-hari biasa. Kegiatan ibadah tidak hanya berlangsung siang hari, melainkan juga malam hari hingga menjelang waktu sahur. Hanya saja kalau siang disisi dengan kegiatan muzakarah, diskusi tentang hukum sya’ri Islam, ceramah Ramadhan, dan berbagai kegiatan pengkajian Islam lainnya.

Sedangkan, malam hari kegiatannya berupa shalat Tarawih dan Tadarrus Al-Qur’an hingga larut malam malah sampai dini hari saat sahur tiba. Kecuali itu, untuk menghidupkan suasana di komplek masjid, pengurus juga menyiapkan makanan bukaan setiap sore dengan bahan dari sumbangan para dermawan dan masyarakat sekitar masjid. Makanan berbuka yang disiapkan hingga 300 - 500 orang tersebut khusus bagi anak-anak yatim, gelandangan, dan kaum musafir yang jauh dari rumahnya saat waktu berbuka tiba.

Kisah Nyata Tjong A Fie, Orang Terkaya Asal Medan yang Tragis (Tamat)

menantu barbar

Ketika kami turun dari kapal di Amoy, banyak sekali orang menyambut. Bunyi petasan memekakkan telinga. Saya diapit oleh empat penyambut perempuan yang berpakaian indah. Dalam Congafie1_1perjalanan berulang-ulang mereka mengucapkan sesuatu yang tidak dipahami. Ternyata saya diminta berjalan perlahan-lahan. Akhirnya saya sadar bahwa kaki mreka kecil karena diikat, sehingga tidak bisa berjalan dengan leluasa.
Saat akan naik ke dalam tandu kepala saya terantuk atapnya. Maklum saya belum pernah naik benda yang diusung manusia itu. Saya dibawa ke sebuah bangunan bergaya Barat untuk menghadap mertua saya. Mertua perempuan saya cantik. Sesudah upacara penghormatan selesai, mertua laki-laki saya bangkit diikuti mertua perempuan dan kami. Kami mesti menurun tangga. Karena melihat kaki ibu mertua saya kecil, saya khawatir ia terjatuh. Secara spontan saya bimbing lengannya Terdengarlah suara terkejut dari kaum perempuan yang menyaksikan adegan ini. Saya tidak mengerti apa yang mereka katakan jadi saya tetap saja membimbing lengan ibu mertua saya. Ternyata tindakan saya itu dianggap menyalahi tatacara. Mestinya mertua yang menuntun menantu, bukan menantu yang menuntun mertua. Akibatnya, saya disebut barbar.
Ternyata mertua laki laki saya sangat kaya. Ia memiliki enam selir yang melayani pelbagai kebutuhannya.
Perempuan yang Mencurigakan
Pada saat suami saya masih orang asing bagi saya, saya harus hidup dalam lingkungan yang bahasa, kebiasaan dan orang-orangnya tidak saya kenal. Untunglah ibu mertua saya termasuk salah seorang yang paling manis dan paling agung yang pernah saya jumpai dalam hidup ini.
Suatu hari kakak perempuannya datang dari desa. “Menantumu jauh dari cantik, “Kakinya menyeramkan besarnya. Apa betul ia seorang putri barbar ?” Konsepsinya mengenai kecantikan ialah kerempeng seperti pohon Yangliu (Willow), kaki Cuma 7,5 cm panjangnya dan bentuk wajah eperti kuaci. Saya tidak memiliki semuanya.
Mertua saya menanggapi, “Tidak perduli bagaimanapun rupanya dan siapa da, dialah perempuan yang kuhendaki menjadi isteri putraku.”
Saya tidak memiliki pakaian Cina. Jadi saya berkunjung ke rumah sanak keluarga dengan mengenakan pakaian gaya Eropa. “Kamu cantik dengan pakaian seperti itu,” kata ibu mertua saya. “Jangan perdulikan apa kata orang lain. Orang-orang di Amoy ini kolot-“
Pada hari tahun baru, saya satu-satunya orang yang mengenakan pakaian gaya Eropa. Saya merasa canggung, tetapi Mrs. Grey memuji saya dan berkata saya seperti ratu. Sejak hari itu ia memanggil saya Queeny, yang sepadan dengan nama suami saya , King Jin yang selalu dipanggil King.
Pada tahun baru kedua di tempat yang jauh dari orangtua saya ini, saya melihat seorang perempuan muda di antara kami, yang melirik kepada saya seakan akan mengejek. Ia cantik dan kelihatannya tidak asing di rumah itu. Setelah menemui ibu mertua saya, ia masuk ke ruang tempat suami saya main mahyong dengan adiknya dan adik ibu mertua saya. Saya melihat perempuan itu berdiri di belakang kursi suami saya dengan tangan diletakkan di pundah suami saya.
Saya bertanya kepada seorang pelayan tua,”Mui-ah , siapa sih perempuan muda berpakaian sutera biru itu ?”
“Oh, itu !” jawah Mui-ah dengan sikap jijik. “Tadinya dia pelayan Nyonya besar.” Kata Mui-ah yang polos itu, perempuan itu pernah mempunyai hubungan asmara dengan suami saya sebelum pernikahan kami. Ia ingin dijadikan selir, tetapi ibu mertua saya memulangkannya ke desa.
Saya tidak tahu harus berbuat apa. Saya harus mengendalikan diri. Saya merasa seperti ada sesuatu yang patah di dalam diri saya. Sakit seperti itu belum pernah saya rasakan. Padahal saya tidak mempunyai seorang pun untuk mencurahkan isi hati. Ketika itu saya sedang mengandung.
Ketika hal itu saya tanyakan kepada suami saya, ia menjawab acuh tak acuh,“Semuanya kann sudah lewat. Sekarang ia sudah menikah,“ Luka itu meninggalkan bekas yang tidak bisa hilang dari hati saya.
Saya melahirkan seorang bayi laki-laki, Tong tahun 1914. Ayah mertua saya bangga karena pada hari ulangtahunnya yang ke-40 ia sudah mempunyai cucu.
Bertemu calon Raja Karet.
Di Masa yang lalu, anak perempuan yang sudah menikah tidak boleh berkunjung ke rumah orangtuanya, kecuali kalau diundang. Setelah kelahiran Tong, ayah menulis surat kepada besannya, untuk mengundang suami saya dan saya serta bayi kami ke rumahnya di Medan. Mertua saya memberi izin dengan syarat Tong ditinggalkan pada mereka.
Kami pun berlayar ke selatan. Di Pelabuhan, kami dijemput dengan gerbong kereta api milik sultan pribadi. Kendaraan itu pula yang mengantarkan kami pergi dua tahun sebelumnya. Di Medan, masyarakat Hakka dan Hokkian bersama sama menjemput kami, karena ayah mertua saya adalah tokoh masyarakat Hokkian di Cina.
Ketika saya berangkat ke Amoy, tubuh saya termasuk montok Kini saya kembali ke Medan dalam keadaan langsing. Satu setengah bulan berlalu dengan cepat dan saya pun harus kembali ke rumah mertua.
Menjelang musim gugur, kesehatan suami saya mundur. Diperkirakan iklim tropis baik baginya. Jadi kami diperbolehkan pergi ke Medan lagi, asal Tong ditinggalkan di Amoy. Tentu saja ayah senang menerima kami.
Di Kapal, kami berkenalan dengan seseorang bernama Lee Kong Chian yang kami undang untuk berkunjung ke tempat ayah. Suami saya mengajaknya berkeliling meninjau perusahaan-perusahaan ayah, di antaranya ke perkebunan dan ke Deli Bank yang bersaing dengan bank-bank barat. Tampaknya seluruh Medan ini milik ayah mertuamu,“Komentarnya kepada suami saya.“ Kalau melihat semua ini, tidak sulit buat kamu memulai usaha sendiri.“
Suami saya dengan penuh keyakinan berkata,“ Kalau ayah mertua saya bisa, mengapa saya tidak?“ Lee menjawab,“ Mertuamu mulai dari bawah. Ia tahu apa artinya kegigihan, sedangkan kamu lahir sebagai anak orang kaya.“
Ayah menawarkan beasiswa kepada Lee, tetapi ia menolak. Ia lebih suka bekerja di sebuah perusahaan sepatu karet yang besar di Singapura, milik Tan Kak Kee. Ketika suatu hari kami mengunjungin ya di Singapura, ternyata ia tinggal di sebuah kamar sempit yang lembab dan berbau karet. Pulang dari sana, suami saya menghela nafas. “Ah, teman kita yang malang,” katanya. Kami tidak pernah menyangka bahwa kelak Lee Kok Chian akan menjadi raja karet yang termasyhur.

Dianggap membawa rezeki

Kami merayakan tahun baru Imlek di Amoy, kemudian ayah saya genap berdinas 30 tahun pada pemerintah Hindia Belanda dan peristiwa itu akan dirayakan besar-besran. Ketika itu ibu saya baru melahirkan seorang anak laki laki lagi, lee Liong. Artinya adik saya ini lebih muda daripada putera saya.
Tidak lama setelah itu ayah menandatangani kontrak pendirian Batavia bank di Batavia dengan Majoor der Chinezen Khouw Kim An dan Kapitein Lie Tjian Tjoen serta beberapa orang lain. Dari 600 saham, ayah memegang 200 di antaranya. Suami saya dijadikan manajer Deli Bank di Medan dan kami mendapat rumah di daerah elite di Medan. Di rumah baru ini kami bisa berbuat sekehendak hati karena lepas dari pengawasan ibu.
Ketika kami pergi ke Amoy untuk merayakan tahun baru Imlek,suami saya membawa hadiah kerongsang (bros bertatah intan) untuk ibunya. Ibu mertua saya sangat senang. Suami saya kini dipandang tinggi, sebagai seorang yang sudah berpenghasilan. Orang-orang yang dulu menganggap saya barbar, kini berpendapat bahwa saya isteri pembawa rezeki. Walaupun demikian, kami tetap tidak boleh membawa Tong ke Medan.
Bulan November tahun 1919 itu, ibu melahirkan anak ketujuh. Seorang anak laki-laki lagi, Tseong liong, yang biasa kami panggil adek.
Bank Baru Pembawa Petaka
Atas saran beberapa orang suami saya mendirikan bank baru, Kong Siong Bank, saya menganggap tindakan ini tidak sehat, sebab bank baru ini bisa saja mempunyai kepentingan yang berlawanan dengan Deli Bank milik ayah, tempat ia menjadi manajer pelaksana.“Tidak , kedua bank ini akan bekerja sama,“dalih suami saya. Katanya, ia mempunyai orang kepercayaan untuk mengelolanya. Ternyata Kong Siong Bank merosot dari hari ke hari dan tidak bisa melaksanakan kewajiban-kewajibannya.
Bukan cuma keluarga kami yang menghadapi masalah-masalah dengan generasi mudanya. Putra sulung paman Yong Hian, memang menjadi konsul Republik cina di Mean, tetapi adik-adiknya yang laki-laki seperti Kung We, Kung Lip dan Kung Tat sering membuat heboh dengan cara hidup mereka yang berlebihan. Isteri mereka saling bersaing dalam perhiasan dan pakaian. Sementara mobil-mobil mewah mereka yang selalu baru, memamerkan diri sepanjang jalan jalan kota Medan. Ayah risau dan bahkan sempat sakit karena para kemenakannya ini ada yang mengalami ketekoran dana di Deli Bank. Selain itu mereka membuat orang iri dan menimbulkan celaan serta pergunjingan. Para orang kaya baru ini betul-betul tidak menghormati jerih payah orang tuanya dalam mencari uang dan tidak menghargai warisan.
Bibi Hsi, ibu mereka yang terbiasa tinggal di desa di daratan Cina, sebaliknya hidup hemat dan sederhana sekali di Medan. Ia tidak pernah iri pada kemewahan orang lain, sehingga luput dari celaan.
Kaum muda ini rupanya tidak menginsafi dampak PD I di Eropa terhadap ekonomi dunia. Pada masa itu juga para penjudi profesional dari Penang memperkenalkan judi pei-bin di Medan. Banyak orang tergila-gila pada judi dengan akibat usaha mereka rusak tanpa bisa diperbaiki lagi.

Ayah merasa sudah Tua.

Tahun 1920 yang penuh gejolak itu ayah dan ibu merayakan pernikahan perak mereka. Ayah tidak mau orang-orang menghamburkan uang untuk hadiah baginya, sehingga perayaan hanya diadakan di antara keluarga. Walaupun sederhana, semua orang gembira. Saya terkenang kembali masa saya masih kecil.
Ayah merasa ia sudah tua. Ia sudah menyiapkan 12 rumah atas nama ibu yang diharapkan akan memberikan penghasilan yang cukup bagi ibu di masa yang akan datang. Walaupun ibu galak, ia tidak serakah. Ia menolak hadiah ini, seperti ia menolak membeli perhiasan seperti yang dipakai isteri rekan rekan ayah dari Jawa.
Ayah memberi sepuluh ruko untuk saya, yang memberi penghasilan hampir seribu gulden sebulan. Dua diantaranya dipakai untuk Kong Siong bank.
Suatu sore awal tahun 1921 ayah memberi tahu ia sudah menerima cetak biru kapal 6000 ton yang dipesannya dari Jepang. Kapal ini bisa dipakai mengangkut penumpang maupun barang. Rencananya ia akan membawa kami ke Eropa dalam perjalanan perdana dan untuk keperluan itu ia sudah belajar berbahasa Inggris.
Hari itu kami berpisah pukul 22.00. Malamnya tiba-tiba saya dibangunkan pesuruh ayah saya.”Non, dipanggil Nyonya besar. Tuan besar tidak enak badan,“kata Amat. Saya gemetar dan segera ikut ke rumah ayah saya. Ayah saya terengah engah di ranjang. Dr. Van Hengel yang memeriksanya berkata,“Anda tidak apa apa, Majoor, cuma terlalu keras bekerja.“Ia meminta ayah untuk beristirahat dan memang ayah tenang kembali.
Keesokan harinya ibu menyuruh saya pergi ke Pangkalan Brandan, untuk berdoa di makam kakek dan nenek saya dari pihak ibu. Tahu tahu saya disusul ke sana dan diminta segera kembali ke Medan. Saya sangat risau sebab merasa keadaan ayah memburuk. Tiba di depan ruamh, saya sudah melihat kesibukan yang tidak biasanya. Jambul (Kian Liong) berlari menyongsong saya.“ Ayah meninggal, katanya.
Saya bengong memandang Jambul tanpa bisa mengucapkan sepatah katapun. Seseorang membimbing saya masuk ke ruang besar tempat pemujaan arwah nenek moyang. Ayah berbaring mengenakan jubah panjang biru dan jas pendek hitam. Matanya tertutup rapat, tetapi bibirnya terbuka sedikit seperti ingin mengucapkan sesuatu. Hanya saja tidak ada suara yang keluar.
Saya membenamkan wajah saya ke lipatan lengan jubahnya yang lebar dan menangis.“Bawa dia pergi,“seru seseorang.“Jangan biarkan air mata menetes ke jenazah. Nanti almarhum lebih berat lagi meninggalkan dunia fana ini.“ Ketika saya dibawa pergi, saya mendengar seseorang berkata,”Dia anak kesayangannya.”
Saat itu adik bungsu saya, Tseong Liong, belum mengerti apa-apa. Saya melihat ia membakar kertas perak dengan kakak-kakaknya. Orang-orang terlalu sibuk untuk menghapuskan jelaga dari wajahnya. Kertas perak itu dibakar untuk memberi bekal kepada ayah kami dalam perjalanannya ke alam baka. Ayah meninggal karena pendarahan otak 8 Februari 1921 atau tanggal 27 bulan 12 tahun monyet menurut penanggalan Cina.
(Catatan Redaksi: Menurut sumber-sumber lain, diantaranya Leo Suryadinata dalam Prominent Chinese Indonesia, Tjong A Fie bunuh diri akibat resesi, perusahaan perusahaannya mundur dan ia tidak bisa membayar cek sebesar 300.000 gulden yang dikeluarkan oleh Deli Bank. Ketika berita itu tersebar, nasabah Deli Bank berlomba-lomba menarik simpanan mereka. Tjong A Fie tidak bisa melihat kenyataan ini, sehingga ia mengakhiri hidupnya sendiri).

Pembagian Warisan

Notaris Fouquain de Grave bersama wakilnya dan juru tulisnya datang membacakan surat wasiat ayah. Semua keturunan ayah , baik laki laki maupun perempuan mendapat warisan tanpa kecuali. Begitu pula putra angkatnya (anak angkat Ibu Lee) dan cucu dari putra angkatnya itu. Ayah menunjuk isterinya sebagai satu satunya executive testamentaire dan wali bagi anak anaknya yang masih di bawah umur. Semua harta peninggalannya, yang bergerak maupun yang tidak bergerak, sesudah dikurangi dengan yang diberikannya kepada anak-anak perempuannya sebagai bekal pernikahan, dimasukkan ke dalam Yayasan Toen Moek Tong, yang harus didirikan saat ia meninggal, di Medan dan di SungKow
Keturunannya yang pria menjadi ahli waris yang sah dari yayasan itu, yang tidak bisa dibagi, dibubarkan ataupun dijual. Mereka akan menerima persentase dar hasil yayasan itu selama hidup. Selain itu ada persentase untuk mengurus rumah keluarga dan untuk amal. Mereka masing-masing akan menerima 150.000 gulden pada saat menikah. Jika salah seorang ahli waris menjadi invalid karena sakit, cacad sejak lahir, atau mengalami gangguan jiwa, yayasan akan menyokongnya selama hidup.
Orang-orang berdatangan dari tempat-tempat jauh seperti Jawa untuk menunjukkan rasa hormat kepada ayah. Sementara itu para pengemis berbaris di jalan, menunggu makanan dibagikan setiap kali suatu upacara selesai dijalankan.
Enam Puluh Tahun Terakhir
Enam puluh tahun telah lewat. Saat itu keluarga Kwet Liong, Lee Liong dan Tseong Liong serta saya sendiri masih tinggal di rumah besar yang didirikan ayah. Umur saya sekarang (Ketika buku ini ditulis 1981,Red) 84 tahun. Bagaimana caranya menceritakan peristiwa-peristiwa selama kurun waktu 60 dalam sebuah bab yang pendek?
Suami saya tidak berbakat menjadi pengusaha seperti yang diinginkannya. Tahun 1926 ketika kami pulang ke Amoy, kedua mertua saya dalam keadaan tidak sehat sehingga dianjurkan berobat ke Swiss. Ayah mertua saya beserta sejumlah pengiringnya dan kami berangkat tanpa ibu mertua saya. Ia diharapkan menyusul setahun kemudian, tetapi keburu meninggal. Enam tahun lamanya kami tinggal di Eropa. Saya mendapat kesempatan belajar bahasa Jerman dan Prancis. Sebagai satu-satunya orang yang memahami sejumlah bahasa Eropa modern dalam rombongan kami, saya bertindak sebagai penerjemah.
Tahun 1931 kami kembali ke Cina. Selama tiga tahun berikutnya saya menjadi Liaison Offiser menteri luar negeri di Nanking. Di sini saya bertemu dengan Prof. Duivendak, seorang sinolog Belanda yang merasa senang bisa bercakap-cakap dalam bahasanya dengan saya di tempat asing.
Kemudian saya diminta ibu menjadi manajer pelaksana perusahaan kereta api yang didirikan ayah bersama Paman Yong Hian di Swatow. Ketika pecah peang, pemerintah mengharuskan jaringan kereta api dibongkar. Dalam perang itu suami saya dan teman temannya pergi ke Manchuria sedangkan saya mengungsi ke Hongkong lalu Medan. Saya tidak pernah melihat suami saya lagi. Ia meninggal di Manchuria karena kanker paru-paru. Saya bahkan tidak bisa menghadiri pemakamannya.
(Catatan Redaksi: Myra Sidharta, seorang psikolog Lulusan Rijksunivesiteit Leiden, Belanda yang mantan dosen di jurusan sinolog Fakultas sastra Universitas Indonesia, pernah mewawancarai Queeny, suaminya mempunyai seorang kekasih seorang perempuan Swiss yang dibawa ke Cina tahun 1931, setiba di Amoy, Queeny juga mendapatkan seorang anak perempuan di rumah mertuanya, yang ternyata anak suaminya dengan seorang perempuan Jepang pada saat mereka belum berangkat ke Eropa. Karena tidak bisa menerima kehadiran selir suaminya, Queeny pamit kepada ayah mertuanya untuk meninggalkan Amoy. Saat itu putra Queeny, Tong berada di Eropa dengan Ny. Tjong A. Fie)
Dalam PD II, Jepang menduduki Indonesia selama tiga setengah tahun. Seusai perang, ibu mengirim saya ke Swatow kembali untuk mengurus kereta api. Ternyata perusahaan kereta api tidak bisa didirikan lagi. Di bekas jalan kereta api itu dibangun jalan raya. Jadi, kami mengusahakan armada bus di sana. Usaha itu berjalan dengan baik. Tampaknya keluarga Tjong akan bangkit kembali, tetapi pemerintah komunis berhasil menguasai Cina. Saya melarikan diri ke Medan sedangkan keluarga suami mengungsi ke Taiwan bersama pemerintah Kuomintang.
Selama dua puluh tahun sesudah itu, saya bepergian ke seluruh Indonesia. Kadang-kadang saya menjenguk keluarga mertua saya di Taiwan. Putra saya Tong menjadi warga negara Singapura. Tahun 1970 ia meninggal akibat kanker mulut.
(Menurut Queeny Chang kepada Myra Sidharta, ia memiliki lima cucu dan beberapa buyut. Ia berhubungan baik dengan anak-anak tirinya, terutama dengan anak tiri yang beribu Jepang, yang kini menjadi pelukis terkemuka di Taipei.)
Ibu berumur panjang. Ketika ibu meninggal tahun 1972, umurnya 93 tahun. Adik saya Sze Yin (Nonie), bersama janda Lee Liong dan saya merawatnya sampai ibu dijemput ajal. Betapa terharunya kami ketika masyarakat Medan ternyata menaruh banyak perhatian pada pemakamannya.
Tahun 1974 saya berkunjung ke Eropa lagi dan kenang-kengangan lama kembali lagi pada saat saya melihat tempat-tempat yang saya kenal baik. Sekarang, selain tinggal di Medan, saya melewatkan sebagian besar waktu saya di Brastagi, di sebuah tempat peristirahatan milik Lee Rubber (perusahaan milik Raja Karet Lee Kong Chian – Red).
Desember 1976 saya terbang dari Jakarta ke Penang untuk menghadiri ulang tahun ke 70 Kian Liong. Ia mengajak saya dan sanak keluarga kami berziarah ke Kek Lok Si, sebuah kuil Buddha di Ayer Itam. Kami menyampaikan persembahan pada ayah kami yang patungnya ada di sana bersama patung para penyumbang pertama pendirian kuil itu di akhir abad XIX lalu.
Alangkah terharunya saya mengetahui orang tua kami masih diingat dengan rasa hormat. Ziarah itu menggugah saya untuk menulis buku ini, sebagai peringatan akan ayah saya yang memberi say masa masa paling bahagia dalam hidup saya. Seperti kata penyair word sworth:
“Walaupun tidak ada yang bisa mengembalikan kemegahan rerumputan
Dan semarak bunga-bungaan. Kami tidak akan bersedih hati melainkan akan menemukan kekuatan dari yang tertinggal.“
(Memories of a Nonya, Eastern Universities Press. Sdn. Bhd.)
Catatan Redaksi: Setelah tulisan ini dimuat dalam Majalah Intisari Mei 1982 (Ketika itu Queeny Chang masih hidup), seorang pembaca bernama Amir Hamzah, mantan Kepala Polisi Kota Medan dan sekitarnya, menanggapinya demikian:
Pikulan Tidak Dilupakan Walaupun Sudah Kaya Raya
Pada Masa Kanak-kanak, saya tinggal di Medan, di daerah yang bernama Gudang Es. Tempat itu tidak jauh dari Istana Sultan Deli, Sultan Ma’mun Al Rasjid Perkasa Alamsjah.
Di tempat itu ada Gang Mantri yang dihuni ayah Sutan Sjahrir yaitu Mangkuto Sutan, Hoffd Djaksa Gubernemen di Medan. Gang Mantri adalah tempat tinggal orang-orang berpangkat tinggi masa itu.

Selain itu, tempat tinggal saya berdekatan dengan rumah Tjong A Fie, hartawan dan sosiawan. Di antara sekian banyak orang yang dibantunya mendirikan surau, ternyata seorang ulama besar dari Bukit tinggi, Sjekh Mohamad Djamil Djambek dan paman saya yang mendirikan surau bertingkat di Matur, Bukittinggi.
Tjong A Fie mempunya cara menolong orang-orang yang akan pindah. Biasanya mereka melelang perabot rumah tangganya. Tjong A Fie akan menyuruh anak buahnya membeli perabot satu ruang penuh dengan harga mahal sekali. Sesudah dibayar perabot itu ditinggalkan begitu saja sehingga bisa dilelang sekali lagi.
Pada suatu hari di tahun 1921, ketika saya berumur 6 tahun, teman teman sepermainan berteriak:teriak:”Tjong A Fie mati! Tjong A Fie mati!” Kamis segera pergi ke rumah Tjong A Fie yang besar itu di Kesawan. Di muka rumah kami lihat bendera pelbagai ragam dan kertas-kertas perak bertaburan, sementara beratus ratus orang datang.
Di Muka rumah Tjong A Fie itu, kalau tidak salah pada sebuah toko, terpampang lukisannya dalam ukuran besar sekali. Kami melihat berpuluh puluh orang Cina miskin berjongkok di seberang rumah sosiawan itu, menantikan sedekah.
Kami anak-anak kecil menerobos saja masuk. Kalau saya tidak ingat, dekat peti jenazah ditaruh sebuah pikulan dagang. Konon itu pikulan yang dipakainya menjajakan barang ke sana kemari sebelum ia kaya raya
Ketika sampai 1953 saya menjadi Kepala Polisi Kota Medan dan sekitarnya, saya bergaul dengan keluarga Tjong A Fie. Salah seorang diantaranya biasa disebut Zus A Foek. Ia sangat fasih berbahasa Hakka, Hokkian, Belanda , Inggris, Jerman , Prancis maupun Indonesia. Ia tidak lain daripada Queeny Chang penulis buku Memories of a Nonya.
Suatu hari, ketika kami diundang ke rumah mreka, di sana kami mendengarkan dr. Djulham dari Binjai memainkan biola. Putri dr. Djulham adalah Trisuri Juliati Kamal yang sekarang menjadi pemain piano terkenal dan tinggal di jakarta. Itulah kenang-kenangan yang saya peroleh dengan keluarga Tjong A. Fie. Agnes Davonar
tamat

Istana Maimun

Sejarah Istana Maimun

Istana Maimun, terkadang disebut juga Istana Putri Hijau, merupakan istana kebesaran Kerajaan Deli. Istana ini didominasi warna kuning, warna kebesaran kerajaan Melayu. Pembangunan istana selesai pada 25 Agustus 1888 M, di masa kekuasaan Sultan Makmun al-Rasyid Perkasa Alamsyah. Sultan Makmun adalah putra sulung Sultan Mahmud Perkasa Alam, pendiri kota Medan.
Sejak tahun 1946, Istana ini dihuni oleh para ahli waris Kesultanan Deli. Dalam waktu-waktu tertentu, di istana ini sering diadakan pertunjukan musik tradisional Melayu. Biasanya, pertunjukan-pertunjukan tersebut dihelat dalam rangka memeriahkan pesta perkawinan dan kegiatan sukacita lainnya. Selain itu, dua kali dalam setahun, Sultan Deli biasanya mengadakan acara silaturahmi antar keluarga besar istana. Pada setiap malam Jumat, para keluarga sultan mengadakan acara rawatib adat (semacam wiridan keluarga).
Bagi para pengunjung yang datang ke istana, mereka masih bisa melihat-lihat koleksi yang dipajang di ruang pertemuan, seperti foto-foto keluarga sultan, perabot rumah tangga Belanda kuno, dan berbagai jenis senjata. Di sini, juga terdapat meriam buntung yang memiliki legenda tersendiri. Orang Medan menyebut meriam ini dengan sebutan meriam puntung.
Kisah meriam puntung ini punya kaitan dengan Putri Hijau. Dikisahkan, di Kerajaan Timur Raya, hiduplah seorang putri yang cantik jelita, bernama Putri Hijau. Ia disebut demikian, karena tubuhnya memancarkan warna hijau. Ia memiliki dua orang saudara laki-laki, yaitu Mambang Yasid dan Mambang Khayali. Suatu ketika, datanglah Raja Aceh meminang Putri Hijau, namun, pinangan ini ditolak oleh kedua saudaranya. Raja Aceh menjadi marah, lalu menyerang Kerajaan Timur Raya. Raja Aceh berhasil mengalahkan Mambang Yasid. Saat tentara Aceh hendak masuk istana menculik Putri Hijau, mendadak terjadi keajaiban, Mambang Khayali tiba-tiba berubah menjadi meriam dan menembak membabi-buta tanpa henti. Karena terus-menerus menembakkan peluru ke arah pasukan Aceh, maka meriam ini terpecah dua. Bagian depannya ditemukan di daerah Surbakti, di dataran tinggi Karo, dekat Kabanjahe. Sementara bagian belakang terlempar ke Labuhan Deli, kemudian dipindahkan ke halaman Istana Maimun.
Setiap hari, Istana ini terbuka untuk umum, kecuali bila ada penyelenggaraan upacara khusus.

2. Lokasi
Istana ini terletak di jalan Brigadir Jenderal Katamso, kelurahan Sukaraja, kecamatan Medan Maimun, Medan, Sumatera Utara.

3. Luas
Luas istana lebih kurang 2.772 m, dengan halaman yang luasnya mencapai 4 hektar. Panjang dari depan kebelakang mencapai 75,50 m. dan tinggi bangunan mencapai 14,14 m. Bangunan istana bertingkat dua, ditopang oleh tiang kayu dan batu
Setiap sore, biasanya banyak anak-anak yang bermain di halaman istana yang luas.

4. Arsitektur
Arsitektur bangunan merupakan perpaduan antara ciri arsitektur Moghul, Timur Tengah, Spanyol, India, Belanda dan Melayu. Pengaruh arsitektur Belanda tampak pada bentuk pintu dan jendela yang lebar dan tinggi. Tapi, terdapat beberapa pintu yang menunjukkan pengaruh Spanyol. Pengaruh Islam tampak pada keberadaaan lengkungan (arcade) pada atap. Tinggi lengkungan tersebut berkisar antara 5 sampai 8 meter. Bentuk lengkungan ini amat populer di kawasan Timur Tengah, India dan Turki.
Bangunan istana terdiri dari tiga ruang utama, yaitu: bangunan induk, sayap kanan dan sayap kiri. Bangunan induk disebut juga Balairung dengan luas 412 m2, dimana singgasana kerajaan berada. Singgasana kerajaan digunakan dalam acara-acara tertentu, seperti penobatan raja, ataupun ketika menerima sembah sujud keluarga istana pada hari-hari besar Islam.Di bangunan ini juga terdapat sebuah lampu kristal besar bergaya Eropa.
Di dalam istana terdapat 30 ruangan, dengan desain interior yang unik, perpaduan seni dari berbagai negeri. Dari luar, istana yang menghadap ke timur ini tampak seperti istana raja-raja Moghul.
5. Perencana
Ada beberapa pendapat mengenai siapa sesungguhnya perancang istana ini. Beberapa sumber menyebutkan perancangnya seorang arsitek berkebangsaan Italia, namun tidak diketahui namanya secara pasti. Sumber lain, yaitu pemandu wisata yang bertugas di istana ini, mengungkapkan bahwa arsiteknya adalah seorang Kapitan Belanda bernama T. H. Van Erp.

6. Renovasi
Istana ini terkesan kurang terawat, boleh jadi, hal ini disebabkan minimnya biaya yang dimiliki oleh keluarga sultan. Selama ini, biaya perawatan amat tergantung pada sumbangan pengunjung yang datang. Agar tampak lebih indah, sudah seharusnya dilakukan renovasi, tentu saja dengan bantuan segala pihak yang concern dengan nasib cagar budaya bangsa.